Sabtu, 03 September 2011


Ratu malam sang rembulan
Raja siang sang matahari
Keduanya selalu bertentangan,

Tarik menarik
Dorong mendorong
Saling menguasai,
Seolah selalu bertanding tiada henti

Tiada yang kalah
Tak ada yang menag,
Karena dengan kedua sifat yang bertentangan ini
Seluruh alam semesta bergerak!

Dunia berputar,
Saling mengisi,
Yang satu melengkapi yang lain
Tanpa yang satu
Takkan ada yang lain,

Siang dan malam
Terang dan gelap
BAik dan jahat
Tanpa yang satu,
Apakah yang lain itu akan ada?
Tanpa adanya gelap,
Dapatkah kita mengenal terang?

Inilah sebuah kenyataan
Yang telah dikenhendaki Allah
Tanpa kehendaknya, takkan terjadi apa-ap
APAKAH DAJJAL MASIH HIDUP ?


Oleh
Jumriani  s.kep



Apakah Dajjal itu sudah ada pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam? Sebelum menjawab kedua pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita harus mengetahui keadaan Ibnu Shayyad, apakah dia itu Dajjal atau bukan?

Kalau Dajjal itu bukan Ibnu Shayyad, maka apakah dia telah ada sebelum kemunculannya dengan membawa fitnah?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, marilah kita mengenal Ibnu Shayyad terlebih dahulu.

IBNU SHAYYAD
Namanya: Shafi, dan ada yang mengatakan Abdullah bin Shayyad atau Shaid. la berasal dari kalangan Yahudi Madinah, ada yang mengatakan dari kalangan Anshar, dan dia masih kecil ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah.

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dia adalah Aslam, dan anaknya, "Amaroh, salah seorang pemuka tabi'in. Imam Malik dan lain-lainnya meriwayatkan hadits darinya. [An-Nihaya Fil Fitan 1: 128 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini].

Adz-Dzahabi mengemukakan biodatanya dalam kitab beliau Asmaush-Shahabah. Beliau berkata, "Abdullah bin Shayyad dicatat oleh Ibnu Syahin [1] Beliau berkata, "Dia adalah Ibnu Shaaid. Ayahnya seorang Yahudi, lalu Abdullah dilahirkan dalam keadaan buta sebelah matanya dan sudah berkhitan. Dialah yang dikatakan orang sebagai Dajjal, lalu dia masuk Islam. Dan dia adalah orang tabi'i [2] [Tajridu Asmaish-Shahabah 1:319 nomor 3366 karya Al- Hafizh Adz-Dzahabi, terbitan Darul Ma'rifah. Beirut"]

Perkataan Adz-Dzahabi itu kemudian di kutip pula oleh Al-Hafizh Ibnu beliau berkata. "Dia adalah orang yang punya putera "Amaroh bin Abdullah bin Shayyad, termasuk orang pilihan kaum muslimin dan sahabat Sa'id bin Al- Musayyab. Imam Malik dan lain-lainnya meriwayatkan hadits dari beliau."

Kemudian Ibnu Hajar menyebutkan sejumlah hadits tentang Ibnu Shayyad sebagaimana akan kami kutip di sini lalu beliau berkata. "Secara garis besar. tidak artinya menyebut Ibnu Shayyad dalam kelompok sahabat. Sebab. kalau dia itu Dajjal, maka sudah barang tentu dia bukan sahabat, karena dia mati kafir; dan kalau Ibnu shayyad itu bukan Dajjal, maka ketika bertemu Nabi saw dia belum masuk Islam". [Al-lshobah Fi Tamyizish-Shahabah, pada bagian keempat, dalam pembahasan tentang orang yang bernama "Abdullah", juz 3, halaman 133 karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, terbitan As-Sa'adah, Mesir, cetakan pertama. 1328 H.]

Tetapi jika ia masuk Islam setelah itu. maka ia adalah seorang Tabi'i yang pernah melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi.

Dan di dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar mengidentifikasi Amarah Ibnu Shayyad dengan mengatakan, "Amaroh bin Abdullah bin Shayyad Al- Anshari Abu Ayyub Al-Madani, meriwayatkan hadits dari Jabir bin Abdullah dan Sa'id bin Al-Musayyab serta Atha' bin Yasar. sedang Adh-Dhahhak bin Utsman dan Imam Malik serta lain-lainnya meriwayatkan hadits dari Amaroj.

Ibnu Ma'in dan Nasai berkata. "Dia seorang kepercayaan." Abu Hatim berkata, " Dia seorang yang shalih haditsnya." Ibnu Sa'ad berkata. "Seorang kepercayaan. dan sedikit hadits yang diriwayatkannya. Dan Malik bin Anas tidak mengunggulkan seorang pun atas dia."

Mereka mengatakan, "Kami adalah putera-putera Usyaihab bin Najjar, lalu mereka terkenal dengan Bani Najjar. Mereka sekarang menjadi kawan setia (mengikat janji setia) dengan Bani Malik bin Najjar, dan tidak diketahui dari keturunan siapa mereka ini." [Tahdzibut-Tahdzib 7: 418, nomor 681]

IHWAL IBNU SHAYYAD
Ibnu Shayyad adalah seorang pembohong besar dan kadang-kadang melakukan praktek tukang tenung, maka adakalanya benar dan adakalanya dusta. Maka tersiarlah kabar di kalangan manusia bahwa dia adalah Dajjal, sebagaimana akan disebutkan dalam pengujian
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  SIFAT-SIFAT DAJJAL DAN HADITS-HADITS YANG BERKENAAN DENGANNYA


Dajjal adalah seorang laki-laki dari anak Adam yang memiliki sejumlah sifat sebagaimana dalam beberapa hadits agar manusia mengetahuinya dan berhati-hati terhadapnya, sehingga apabila kelak ia muncul maka orang-orang mukmin dapat mengenalnya serta tidak terfitnah olehnya.

Sifat-sifat inilah yang membedakannya dari manusia lainnya sehingga tidak tertipu olehnya kecuali orang yang jahil yang bakal celaka. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

DI ANTARA SIFAT-SIFAT DAJJAL
Dia adalah seorang muda yang berkulit merah, pendek, berambut keriting, dahinya lebar, pundaknya bidang, matanya yang sebelah kanan buta, dan matanya ini tidak menonjol keluar juga tidak tenggelam, seolah-oleh buah anggur yang masak (tak bercahaya) dan matanya sebelah kiri ditumbuhi daging yang tebal pada sudutnya. Di antara kedua matanya terdapat tulisan huruf kaf, fa', ra' secara terpisah, atau tulisan "kafir" secara bersambung / berangkai, yang dapat dibaca oleh setiap muslim yang bisa menulis maupun yang tidak bisa menulis. Dan di antara tandanya lagi ialah mandul, tidak punya anak.

Berikut ini beberapa hadits shahih yang menyebutkan ciri-ciri tersebut, yang juga merupakan dalil akan munculnya Dajjal:

[1]. Dari Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Ketika saya sedang tidur, saya bermimpi melakukan thawaf di Baitullah.... " Lalu beliau mengatakan bahwa beliau melihat Isa Ibnu Maryam 'alaihissalam, kemudian melihat Dajjal dan menyebutkan ciri-cirinya dengan sabdanya: "Dia itu seorang laki-laki yang gemuk, berkulit merah, berambut keriting, matanya buta sebelah, dan matanya itu seperti buah anggur yang masak' (tak bersinar). " Para sahabat berkata, "Dajjal ini lebih menyerupai Ibnu Qathn [1] , seorang laki-laki dari Khuza'ah." [Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Dzikrid. Dajjal 13: 90: Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Dzikril Masih Ibni Maryam 'alaihissalam wal-Masihid Dajjal 2: 237].

[2]. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut-nyebut Dajjal di hadapan orang banyak, lalu beliau bersabda:

"Artinya : Sesungguhnya Allah Ta'ala itu tidak buta sebelah matanya. Ketahuilah. sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal itu buta.sebelah matanya yang kanan, seakan-akan matanya itu buah anggur yang tersembul. " [Shahih Bukhari, Kitabul Fitan. Bab Dzikrid Dajjal 13: 90; dan Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asy-rothis Sa'ah, Bab Dzikrid Dajjal 18: 59].

[3]. Dalam hadits An-Nawwas bin Sam'an Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah saw bersabda dalam menyifati Dajjal, bahwa dia adalah seorang muda yang berambut sangat keriting (kribo), sebelah matanya tak bercahaya, mirip dengan Abdul 'Uzza bin Qathan. [Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikrid Dajjal 18: 65].

[4]. Menurut hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Sesungguhnya Masih Dajjal itu seorang lelaki yang pendek dan gemuk, berambut kribo, buta sebelah matanya, dan matanya itu tidak menonjol serta tidak tenggelam. Jika ia memanipulasi kamu, maka ketahuilah bahwa Rabbmu tidak buta sebelah matanya." [Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud 11: 443. Hadits ini derajatnya shahih. Periksa: Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir 2: 317-318, hadits nomor 2455].

[5]. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Adapun Masih kesesatan itu adalah buta sebelah matanya. Lebar jidatnya, bidang dadanya bagian atas dan bengkok " [Musnad Imam Ahmad 15: 28-30 dengan tahqiq dan syarah Ahmad Syakir. Dia berkata, "Isnadnva shahih. " hadits ini juga dihasankan oleh Ibnu Katsir. Periksa: An-Nihayah Fil Fitan wai Malahim 1: 130 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini].

[6]. Dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Dajjal itu buta matanya sebelah kiri dan lebat rambutnya. " [Shahih Muslim. Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikrid Dajjal 18: 60-61].

[7]. Dalam hadits Anas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Dan di antara kedua matanya termaktub tulisan "kafir" [Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Dzikrid Dajjal 13: 91; dan Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothus Sa'ah, Bab sa'ah, bab Dzikrid Dajjal 18: 59].

Dan dalam satu riwayat disebutkan:

"Artinya : Kemudian beliau mengejanya -kaf fa ra- yang dapat dibaca oleh setiap muslim. " [Shahih Muslim 18: 59].

Dan dalam satu riwayat lagi dari Hudzaifah:

"Artinya : Dapat dibaca oleh setiap orang mukmin, baik ia tahu tulis baca maupun tidak. " [Shahih Muslim 18: 61].

Tulisan ini (yang ada di antara kedua mata Dajjal) adalah hakiki, sesuai dengan lahirnya, dan tidak sukar untuk diketahui oleh sebagian orang (yang muslim) dan tidak diketahui oleh sebagian orang lagi (yakni orang kafir) [2] bahkan orang muslim yang buta huruf pun dapat membacanya. Hal ini disebabkan kemampuan memandang itu diciptakan oleh Allah bagi hamba-Nya bagaimana dan kapan saja ia berkehendak. Tulisan ini dapat diketahui oleh mukmin dengan pandangan matanya, meskipun dia tidak kenal tulis- menulis, dan tidak dapat diketahui oleh kafir sekalipun dia tahu baca tulis. sebagaimana halnya orang mukmin dapat mengetahui bukti-bukti kekuasaan Allah dengan pandangan matanya sedangkan orang kafir tidak mengetahuinya. Maka Allah menciptakan pengetahuan bagi orang mukmin tanpa mengalami proses belajar mengajar. sebab pada zaman itu memang terjadi hal-hal yang luar biasa. [Fathul-Bari 13: 100].

Imam Nawawi berkata, "Pendapat yang dipegang oleh para muhaqiq ialah bahwa tulisan ini nampak secara lahir dan hakiki (sebenamya) sebagai suatu tanda dan alamat yang diciptakan oleh Allah di antara sejumlah alamat atau tanda-tanda yang menunjukkan dengan qath'i akan kekafiran, kebohongan, dan kebatilannya (Dajjal). Dan tanda-tanda ini dinampakkan oleh Allah kepada setiap orang muslim yang tahu tulis baca maupun yang tidak tahu tulis baca, dan disembunyikannya untuk orang yang dikehendaki-Nya akan celaka dan terfitnah. Dan hal ini tidak dapat dihalangi sama sekali. " [Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 18: 60]

[8]. Dan di antara sifat-sifatnya (ciri-cirinya) lagi ialah seperti yang disebutkan dalam hadits Fathimah binti Qais ra mengenai kisah Al-Jasasah yang di dalam kisah (riwayat) itu Tamim Ad-Dari ra berkata. ".... Lain kami berangkat dengan segera sehingga ketika kami sampai di biara tiba-tiba di sana ada seorang yang sangat besar (hebat) dan diikat sangat erat...." [Shahih Muslim. Kitabul Fitan wa Asy-rothis Sa'ah, Bab Qishshotil Jasasah 18: 81].

[9]. Dalam hadits Imron bin Husein Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Semenjak diciptakannya Adam hingga datangnya hari kiamat tidak ada makhluk yang lebih besar[3] daripada Dajjal. " [Shahih Muslim 18: 86-87].

[10]. Dajjal tidak punya keturunan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abi Sa'ad Al-Khudri ra dalam kisahnya bersama Ibnu Shayyad. Kata Ibnu Shayyad kepada Abu Sa'id, "Saya bertemu orang banyak dan mereka mengira saya ini Dajjal. Bukankah Anda pernah mendengar Rasulullah saw bersabda bahwa Dajjal tidak punya anak (keturunan)?" Abu Sa'id menjawab, "Betul" Ibnu Shayyad berkata lagi," Padahal saya punya anak...." [Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikri Ibnu Shayyad 18: 50].

Perlu diperhatikan bahwa dalam riwayat-riwayat di muka disebutkan bahwa Dajjal itu buta matanya yang sebelah kanan. sedangkan pada riwayat yang lain disebutkan bahwa matanya yang butanya adalah sebelah kiri. padahal semua riwayat itu shahih ini merupakan suatu kemusykilan. Ibnu Hajjar berpendapat bahwa hadits Ibnu Umar yang tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang menyifati Dajjal buta matanya yang sebelah kanan adalah lebih kuat daripada riwayat Muslim yang mengatakan bahwa yang buta adalah matanya sebelah kiri, sebab hadits yang disepakati shahihnya oleh Bukhari dan Muslim Iebih kuat daripada lainnya. [Fathul-Bari 13: 97]

Al-Qadhi ' Iyadh berpendapat bahwa kedua belah mata Dajjal itu cacat. sebab semua riwayatnya shahih. Yang satu tidak bercahaya (ath-thafi'ah, dengan memakai huruf hamzah) yakni buta, dan ini untuk mata yang sebelah kanan sebagaimana. disebutkan dalam hadits Ibnu Umar. Dan matanya yang sebelah kiri ditumbuhi oleh daging pada sudutnya yang dapat menutupi sebagian atau seluruh lensanya (ath-thafiyah) dengan menggunakan huruf ya'), dan ini yang dimaksud dengan buta matanya sebelah kiri. Jadi masing-masing mata Dajjal itu cacat. yang satu tidak dapat melihat sama sekali dan satunya cacat dengan ditumbuhi daging. Imam Nawawi mengomentari jalan jama' (kompromi) seperti yang dikemukakan Qadhi 'iyadh itu sangat bagus (Syarah Muslim 2: 235) dan dikuatkan pula oleh Abu Abdillah Al-Qurthubi [At-Tadzkirah: 663]bi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadapnya




MAKNA AL-MASIH
Abu Abdillah Al-Qurthubi menyebutkan dua puluh tiga variasi bentuk kata dari lafal Al-Masih ini. (At-Tadzkiroh: 679). Dan pengarang Al-Qamus memecahnya menjadi lima puluh bentuk kata. [Vide: Tartibul Qamus 4: 239. Penyusun kamus ini mengatakan bahwa dia menguraikan variasi bentuk kata ini dalam kitabnya Syarhu Masyariqil anwar dan lainnya].

Lafal Al-Masih dapat berarti Ash-shiddiq (yang benar /suka kepada kebenaran) dan adhalil Al-Kadzdzab (yang sesat lagi pembohong). Maka Al-Masih Isa 'alaihissalam adalah Ash-Shiddiq, sedang Al-Masih Ad-Dajjal Adalah Adh-dhalil Al-Kadzdzab.

Allah menciptakan dua Al-Masih yang kontradiktif. Isa 'alaihissalam adalah Al-Masih pembawa petunjuk. yang dapat menyembuhkan tuna netra dan penyakit sopak (penyakit kulit yang tidak memiliki zat warna). dan dapat menghidupkan orang mati dengan izin Allah. Sedang Dajjal adalah Al-Masih kesesatan yang menyebarkan fitnah kepada manusia dengan kejadian-kejadian luar biasanya seperti menurunkan hujan. menghidupkan bumi dengan tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Dajjal disebut masih karena salah satu matanya terhapus (buta), atau karena ia menghapus bumi selama empat puluh hari. [Periksa: An-Nihayah Fi Gharibil Hadits 4: 326- 327; dan Li-sanul Arab 3: 594-595]

Dan pendapat yang pertama (bahwa Dajjal buta sebelah matanya) adalah pendapat yang lebih kuat berdasarkan hadits "Bahwasanya Dajjal terhapus (buta) sebelah matanya. " [Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa 'ah, Bab Dzikrid Dajjal 18: 61]

MAKNA AD-DAJJAL
Adapun kata Ad-Dajjal ini diambil dari perkataan mereka: "Dajala Al-ba'iiro idzaa tholaahu bi Al-qothiron waghoththoo bihi" (Seseorang itu mendajjal unta bila melumurinya dangan ter/aspal dan menutupnya dengannya). " [Periksa: Lisanul Arab11: 236, dan Tartibul Qamus 2: 152]

Dan asal makna "Dajjal" ialah "Al-Kholath" (mencampur, mengacaukan, membingungkan). Dikatakan bahwa "seseorang itu berbuat Dajjal bila ia menyamarkan dan memanipulasi." dan "Ad-Dajjal" ialah manipulator dan pembohong yang luar biasa. Lafal ini termasuk bentuk mubalaghah (menyangatkan/intensitas) mengikuti wazan "fa'aal", artinya banyak menelurkan kebohongan dan kepalsuan.[Periksa: An-Nihayah Fi Gharibil Hadits 2: 102].

Dan bentuk jamaknya ialah "dajjaaluun", sedang Imam Malik menjamakkannya dengan bentuk "dajaajilah" sebagai jamak taksir (Lisanul Arab 11: 236). Al-Qurthubi mengatakan bahwa lafal "dajjal" menurut lughat dapat diucapkan dalam sepuluh bentuk. [At-Tadzkirak: 658].

Lafal Dajjal sudah menjadi isim alam (kata nama) bagi Al-Masih sang pendusta dan buta sebelah matanya, sehingga kalau disebutkan kata "Dajjal" maka yang segera ditangkap pengertiannya ialah si pembohong tersebut.

Dan "Dajjal" itu dinamakan "Dajjal" karena ia menutup kebenaran dengan kebatilan atau karena ia menutupi kekafirannya terhadap orang lain dengan kebohongan.kepalsuan. dan penipuannya atas mereka.

IBNU SHAYYAD

IBNU SHAYYAD ITU HAKIKI BUKAN FIKSI


Oleh ;
Jumriani  s.kep




Abu 'Ubayyah beranggapan bahwa sosok Ibnu Shayyad itu adalah fiktif dan khurafat yang kisah ceritanya dimuat dalam beberapa buku dan dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengucapkan perkataan dan melakukan perbuatan kecuali yang berisi kebenaran. Maka telah tiba waktunya bagi kita untuk mengambil ruh, makna, dan petunjuk hadits tersebut dengan jeli dan teliti, sebagaimana yang kita lakukan terhadap sanad dan jalan periwayatannya agar pengetahuan keislaman kita selamat dari kebohongan dan kekeliruan. [An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 104]
.
Itulah perkataan Syekh Abu 'Ubayyah dalam mengomentari hadits-hadits tentang Ibnu Shayyad. Perkataan beliau ini tertolak karena hadits-hadits mengenai Ibnu Shayyad itu adalah shahih sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunnah seperti kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta lainnya. Dan dalam hadits-hadits mengenai Ibnu Shayyad itu tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ruh hadits dan kebenaran. Maka Ibnu Shayyad sebagaimana telah disebutkan di muka masalahnya memang samar bagi kaum Muslimin. Dia adalah salah satu dajjal dari dajjal-dajjal (pembohong-pembohong) yang kebohongan dan kebatilannya dinampakkan oleh Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Sebaliknya perkataan-perkataan Abu 'Ubayyah sendiri tampak kontradiktif. Dalam komentarnya terhadap hadits-hadits Ibnu Shayyad antara lain beliau pernah mengatakan, "Sebenarnya Ibnu Shayyad hanya mengucapkan perkataan yang tidak ada artinya sama sekali sebagaimana kebiasaan para dukun (tukang tenung), dan dengan perkataannya itu dia tidak bermaksud apa-apa. Maka dia adalah seorang tukang sulap dan pembohong." [An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 88)]

Perkataan beliau ini berisi pengakuan bahwa Ibnu Shayyad itu tukang sulap dan pembohong. Maka bagaimana cara mencerna dan menerima perkataan beliau yang pada suatu waktu mengatakan bahwa Ibnu Shayyad itu hanyalah fiksi dan khurafat, sedang pada waktu yang lain beliau mengatakan bahwa dia adalah tukang sulap? Maka tidak diragukan lagi bahwa perkataan Abu 'Ubayyah itu kontradiktif, saling bertentangan dengan sendirinya.

Orang yang mengikuti komentar atau catatan kaki Syekh Abu 'Ubayyah terhadap kitab An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim karya Al-Hafizh Ibnu Katsir, niscaya ia akan merasa heran terhadap sikap Syekh Abu 'Ubayyah terhadap hadits-hadits yang dibawakan oleh Ibnu Katsir. Apa yang sesuai dengan pemikiran beliau, beliau terima sebagai kebenaran; dan yang tidak sesuai dengan pemikiran beliau, beliau takwilkan dengan takwil yang menyalahi zhahir hadits atau beliau hukumi hadits yang shahih itu sebagai hadits maudhu', tanpa mengemukakan dalil dan keterangan serta bukti-bukti yang benar.

Mengenai hadits Ibnu Shayyad, Abu 'Ubayyah berkata, "Apakah anak kecil itu sudah mukallaf? Apakah sedemikian serius perhatian Rasul terhadap anggapan semacam ini sehingga beliau perlu menemuinya dan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya? Apakah masuk akal beliau menunggunya sehingga mendapatkan jawaban? Apakah dapat diterima oleh akal sehat bahwa beliau demikian toleran terhadap jawaban si kafir yang mengaku sebagai Nabi dan Rasul? Apakah Allah mengutus anak-anak? Itulah beberapa pertanyaan yang kami ajukan kepada orang-orang yang tidak mau mempergunakan akalnya untuk berpikir yang lurus." [An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 104]

Perkataan Ibnu 'Ubayyah itu dijawab bahwa tidak seorang pun yang berpendapat bahwa anak kecil itu sudah mukallaf, juga tidak ada yang berpendapat bahwa Allah mengutus anak-anak sebagai Rasul-Nya. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengetahui apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal yang sebenarnya atau bukan. Karena tersiar kabar di Madinah bahwa dia adalah Dajjal yang diidentifikasikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau peringatkan umat beliau terhadapnya, sedangkan beliau sendiri tidak pernah memperoleh wahyu tentang Ibnu Shayyad. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bahwa yang menyingkap kebohongannya ialah dia sudah mumayyiz dan memahami perkataan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan, "Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul Allah?" hingga perkataan beliau, "Sesungguhnya aku menyembunyikan sesuatu terhadapmu" dan lain-lain pertanyaan yang beliau ajukan kepadanya.

Perkataan atau pertanyaan yang diajukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dimaksudkan untuk memberi taklif Ibnu Shayyad (yang masih kecil itu) dengan Islam (mengakui kerasulan beliau). melainkan untuk mengunakap hakikat masalahnya. Kalau begitu maksudnya. maka tidaklah aneh jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti (menunggu) untuk mengetahui jawabannya. Dan dari jawabannya itulah nampak bahwa dia adalah salah seorang dajjal (pembohong) dari para pembohong besar (dajjal-dajjal).

Dan lagi, tidak ada hal yang dapat menghalangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menawarkan Islam kepada anak kecil. Bahkan Imam Bukhari meriwayatkan kisah Ibnu Shayyad itu dan membuat bab dengan judul Bab Kaifa Yu'radhul Islam 'alaAsh-Shabiyyi (Bab Bagaimana Islam ditawarkan kepada Anak Kecil). [Shahih Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Kaifa Yu'radhu Al-islam 'ala Ash-Shabiyyi 6: 171]

Adapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghukum Ibnu Shayyad yang mengaku sebagai nabi ini maka hal ini merupakan kesamaran yang disebabkan oleh ketidaktahuan Abu 'Ubayyah terhadap perkataan para ulama mengenai masalah tersebut yaitu:

[1]. Bahwa Ibnu Shayyad adalah orang Yahudi Madinah atau termasuk sekutu mereka, sedangkan antara mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu itu terdapat perjanjian damai dan saling melindungi. Yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah beliau mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi untuk berdamai dan tidak saling menyerang. serta membiarkan mereka melaksanakan agamanya. Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah kepergian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Shayyad beserta pertanyaan yang beliau ajukan dan perkatan Umar kepada beliau. "Izinkanlah saya untuk membunuhnya. wahai Rasulullah." Kemudian beliau menjawab. "Jika Ibnu Shayyad itu dajjal maka bukan engkau yang. membunuhnya. tetapi Isa bin Mar'yam ‘Alaihis sallam. Dan jika dia itu bukan Dajjal. maka engkau tidak boleh membunuh seseorang yang termasuk golongan orang-orang yang terikat janji damai denganku." [Al-Faihur Rabbani 24: 64-65. Al-Haitsami berkata. "Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih." Vide: Majma 'uz Zawaid 8:3-4]

Yang berpendapat demikian antara lain adalah Al-Khaththabi (Ma'alamu sunnah 6: 182) dan Al-Baghawi (Syarhus Sunnah 15: 80 dengan tahqiq Syu’aib Al-Arnuth). Ibnu Hajar berkata, "Inilah pendapat yang jelas." [Faihul-Bari 6: 174]

[2]. Ibnu Shayyad pada waktu itu masih kecil, belum dewasa. Jawaban ini diperkuat dengan riwayat Bukhari dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah kepergian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Shayyad yang dalam riwayat ini Ibnu Umar mengatakan, ".. .sehingga beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menjumpainya sedang bermain-main dengan anak-anak kecil di suatu lembah Bani Mughalali, dan ketika itu Ibnu Shayyad sudah hampir dewasa." [Shahih Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Kaifa Yu 'rodhu Al- Islam 'ala Ash-Shabiyyi 6: 172]

Jawaban kedua ini dipilih oleh Al-Qadhi 'iyadh. [Syarah Muslim oleh An-Nawawi 18: 48]

[3]. Jawaban ketiga yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Shayyad tidak mendakwakan kenabian secara terang-terangan, ia hanya mendakwakan risalah (kerasulan / keterutusan), sedangkan mendakwakan kerasulan tidak mesti mendakwakan kenabian.

Allah berfirman:

"Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Kami telah mengutus (irsal) syetan-syetan kepada orang-orang kafir?" (Maryam: 83). [Fathul-Bari 6: 174]



Apakah Ibnu Shayyad Itu Dajjal Yang Besar Itu ?

Senin, 11 Juli 2005 14:33:06 WIB



APAKAH IBNU SHAYYAD ITU DAJJAL YANG BESAR ITU ?


Dalam pembicaraan di muka mengenai hal ikhwal Ibnu Shayyad dan pengujian Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam terhadapnya, beliau bersikap tawaqquf (berdiam diri) mengenai masalah Ibnu Shayyad, karena beliau tidak mendapatkan wahyu yang menerangkan apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan.

Umar Radiyallahu anhu pernah bersumpah di sisi Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal, dan beliau tidak mengingkarinya.
Sebagian sahabat juga berpendapat seperti pendapat Umar sebagaimana diriwayatkan dari Jabir, Ibnu Umar, dan Abu Dzar.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Munkadir [1] dia berkata, "Saya melihat Jabir bin Abdullah bersumpah dengan nama Allah bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Saya bertanya (kepadanya), Anda bersumpah dengan nama Allah?" Dia menjawab, "Saya mendengar Umar bersumpah begitu di sisi Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. tetapi beliau tidak mengingkarinya." [Shahih Bukhari, Kitab Al-l'tisham bil-Kitab Was sunnah, Bab Ban Ra-aa Tarkan Nakir Min an- Nabiyyi saw Hujjatan Laa min Ghairi Rasul 13: 223; dan. Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah. Bab Dzikri Ibni Shayyad 18: 52-53]

Dari Zaid bin Wahab [2] ia berkata, "Abu Dzar berkata, "Sungguh, jika saya bersumpah sepuluh kali bahwa Ibnu Shaid adalah Dajjal lebih saya sukai daripada bersumpah satu kali bahwa dia bukan Dajjal." [Hadits Riwayat Imam Ahmad]

Dari Nafi, ia berkata, "Ibnu Umar pernah berkata, "Demi Allah, saya tidak ragu-ragu bahwa Al-Masih Ad-Dajjal adalah Ibnu Shayyad." [Sunan Abi Daud, Ibnu Hajar berkata, "Sanadnya shahih." Fathul-Bari 13: 325]

Dan diriwayatkan dari Nafi pula, ia berkata, "Ibnu Umar pernah bertemu Ibnu Shaaid di suatu jalan kota Madinah, lalu ia mengucapkan kata-kata yang menjadikannya marah dan.naik pitam hingga membuat ribut di jalan. Lantas Ibnu Umar datang kepada Kafshah sedang berita itu telah sampai pula kepadanya, kemudian Hafshah berkata kepadanya, "Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepadamu. Apakah yang engkau harapkan dari Ibnu Shaaid? Tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Sesungguhnya dia keluar dari kemarahan yang dibencinya." [Shahih Muslim 18:57]

Dan dalam satu riwayat lagi dari Nafi', ia berkata, "Ibnu Umar berkata, "Saya pernah bertemu Ibnu Shaaid (Ibnu Shayyad) dua kali. Setelah saya bertemu yang pertama kali, saya bertanya kepada beberapa orang, "Apakah Anda mengatakan bahwa dia itu Dajjal?" Jawabnya, "Tidak, demi Allah." Semua berkata, "Anda berdusta. Demi Allah, sebagian Anda telah memberitahukan kepadaku bahwa dia tidak akan mati sehingga menjadi orang yang paling banyak harta dan anaknya. Dan demikianlah anggapan mereka hingga hari ini. Lantas kami berbincang-bincang, kemudian kami berpisah. Kemudian bertemu lagi sedangkan sebelah matanya telah buta, lalu saya bertanya, "Sejak kapan mata Anda demikian?" Dia menjawab, "Tidak tahu." Saya bertanya, "Apakah Anda tidak tahu padahal mata itu ada di kapala Anda sendiri?" Dia berkata, "Jika Allah menghendaki, Dia menciptakan yang demikian ini pada tongkatmu." Lalu dia mendengus seperti dengus himar. Kemudian sebagian sahabat saya menganggap bahwa saya telah memukulnya dengan tongkat saya sehingga matanya cidera, padahal demi Allah saya tidak merasa (berbuat) sama sekali."

Setelah itu Ibnu Umar datang kepada Ummul Mukminin dan bercakap-cakap dengannya, lalu Ummul Mukminin berkata, " Apa yang engkau inginkan darinya? Tidakkah engkau tahu bahwa ia pernah berkata, "Sesungguhnya pertama kali yang mengutusnya (membangkitkannya) kepada manusia ialah kemarahan." [Al-Kahfi. 57-58]

Ibnu Shayyad mendengar apa yang diperbincangkan orang mengenai dirinya dan dia sangat terganggu karenanya, oleh sebab itu dia membela diri bahwa dia bukan Dajjal dengan argumentasi bahwa identitas Dajjal seperti yang dikemukakan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam itu tidak cocok diterapkan pada dirinya.

Dalam sebuah riwayat dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, ia bercerita, katanya. "Kami pernah melakukan haji atau umrah bersama Ibnu Shayyad (Ibnu Shaaid), lalu kami berhenti di suatu tempat dan orang-orang pun berpencar hingga tinggal saya dan Ibnu Shaaid. Saya merasa sangat ketakutan kepadanya, mengingat apa yang dikatakan orang tentang dia. Dia membawa perbekalannya dan meletakkannya bersama perbekalanku. Lalu saya berkata. "Sesungguhnya hari sangat panas. sebaiknya engkau letakkan di bawah pohon itu." Lalu ia melaksanakannya. Lantas kami dibawakan kambing. lalu ia mengambil mangkok besar seraya berkata, "Minumlah, wahai Abu Sa'id'" Saya jawab, "Sesungguhnya hari amat panas, dan susu itu juga panas." Saya berkata demikian itu hanya karena saya tidak suka minum sesuatu dari tangannya atau mengambil sesuatu dari tangannya. Ia berkata, "Wahai Abu Sa'id, ingin rasanya aku mengambil tali lantas kugantungkan pada pohon, lalu kucekik leherku karena kekesalan hatiku terhadap apa yang dikatakan orang banyak mengenai diriku. Wahai Abu Sa'id, kalau orang-orang kesamaran terhadap hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam maka tidaklah ada kesamaran atas kalian kaum Anshar. Bukankah engkau termasuk orang yang paling tahu tentang hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ? Bukankah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda bahwa Dajjal itu mandul, tidak punya anak, sedangkan saya punya anak yang saya tinggalkan di Madinah? Bukankah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda bahwa Dajjal itu tidak bisa memasuki kota Madinah dan Makkah, sedang saya datang dari Madinah dan hendak menuju ke Makkah?"

Kata Abu Sa'id, "Begitulah, hingga aku hampir menerima alasannya." Kemudian Ibnu Shaaid, "Ingatlah, demi Allah, Sesungguhnya saya mengenalnya dan mengetahui tempat kelahirannya serta mengetahui di mana ia sekarang berada." Abu Sa'id berkata: Saya berkata kepadanya, "Celakalah engkau pada hari-harimu." [Shahih Muslim 18:51-52]

Dan dalam suatu riwayat Ibnu Shayyad berkata, "Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya saya mengetahui di mana sekarang dia (Dajjal) berada, dan saya juga mengetahui tempat kelahirannya serta mengetahui di mana ia sekarang berada." Abu kau senang jika laki-laki itu adalah engkau?" Dia menjawab, "Kalau disindirkan kepadaku, maka aku tidak benci." [Shahih Muslim 18: 51]

Dan masih ada beberapa riwayat lagi tentang Ibnu Shayyad yang sengaja tidak saya sebutkan karena takut terkesan terlalu panjang, dan lagi karena beberapa orang muhaqqiq seperti Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan lain-lainnya menolaknya karena kelemahan sanadnya. [Periksa: An-Nihayah (Al-Fitan wal Malahim) karya Ibnu Katsir dengan tahqiq DR. Thaha Zaini; dan Fathul-Bari karya Ibnu Hajar 13; 326]

Timbul kemusykilan di kalangan para ulama mengenai masalah Ibnu Shayyad ini, sebagian mereka mengatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal dan mereka beralasan dengan sumpah beberapa orang sahabat bahwa dia adalah Dajjal beserta kondisinya sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Abu Sa'id ketika sedang bersamanya. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa dia bukan Dajjal dengan mengemukakan alasan hadits Tamim Ad-Dari.

Dan sebelum saya kemukakan perkataan kedua belah pihak secara lengkap, baiklah saya bawakan hadits Tamim seutuhnya:

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Amir bin Syurahil Asy-Sya'bi suku Hamdan, bahwa ia pernah bertanya kepada Fatimah binti Qais, saudara wanita Adh-Dhahhak bin Qais, salah seorang muhajirah (peserta hijrah wanita) angkatan pertama. Amir berkata kepada Fatimah, "Sampaikanlah kepadaku sebuah hadits yang engkau dengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam secara langsung tanpa melalui orang lain." Fatimah menjawab, "Jika engkau menginginkan akan saya lakukan." Amir berkata, "Benar, ceritakanlah kepadaku." Fatimah berkata, "Dahulu saya kawin dengan Ibnul Mughiroh, salah seorang pemuda Quraisy yang baik pada waktu itu, lalu ia gugur dalam jihad pertama bersama Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Ketika saya menjanda, saya dilamar oleh Abdur Rahman bin Auf, salah seorang kelompok sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam meminangku untuk mantan budaknya yang benama Usamah bin Zaid, sedang saya pernah mendapat berita bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

"Barangsiapa yang mencintai aku hendaklah ia mencintai Usamah."






PENGUJIAN NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM TERHADAP IBNU SHAYAD






Ketika tersiar di kalangan orang banyak perihal Ibnu Shayyad sebagai Dajjal, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengetahuinya secara jelas, lalu beliau pergi menemui Ibnu Shayyad dengan menyamar (tidak menampakkan identitasnya) sehingga Ibnu Shayyad tidak mengetahuinya, dengan harapan beliau dapat mendengar sesuatu darinya, kemudian beliau menghadapkan beberapa pertanyaan kepadanya untuk mengungkap hakikatnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Umar pernah pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu rombongan untuk menemui Ibnu Shayyad, hingga mereka berhasil menemuinya ketika ia sedang bermain-main dengan anak-anak kecil di sebelah bangunan yang tinggi seperti benteng yang ada di antara lembah kaum Anshar. Ketika itu Ibnu Shayyad sudah hampir dewasa, dan dia tidak merasa akan kedatangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga beliau memukulnya dengan tangan beliau seraya bertanya. "Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul Allah?" Lalu Ibnu Shayyad melihat kepada beliau lantas berkata, "Saya bersaksi bahwa engkau adalah Rasul bagi orang-orang ummi (buta hurut)."

Selanjutnya Ibnu Shayyad berkata, "Apakah engkau bersaksi bahwa saya utusan Allah?"
Nabi menjawab, "Aku beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Bagaimana pandanganmu?"
Ibnu Shayyad berkata, "Telah datang kepadaku seorang yang jujur dan seorang pendusta."
Nabi bersabda, "Pikiranmu kacau-balau. Apakah saya menyembunyikan sesuatu terhadapmu?"
Ibnu Shayyad menjawab, "Asap."
Nabi bersabda, "Duduklah, sesungguhnya engkau tidak akan dapat melampaui kedudukanmu."
Umar berkata, "Biarkanlah saya pukul kuduknya, wahai Rasulullah."
Nabi bersabda, "Jika ia menyindir, maka engkau tidak dapat menguasainya. Tapi jika ia tidak menyindir, maka tidak ada kebaikan untukmu dalam membunuhnya." [Shahih Bukhari. Kitabul Janaiz, Bab Idza As lama Ash-Shabiyyu fa maata Hal Yusholla 'alaihi wa Hal Yu'rodhu 'Ala Ash-Shabiyyi Al-Islamu 3: 217)]

Dan dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Ibnu Shayyad, "Apakah yang engkau lihat?" Dia menjawab, "Saya melihat singgasana di atas air." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Engkau melihat singgasana iblis di laut, dan apa lagi yang engkau lihat?" Dia menjawab, "Saya melihat dua orang yang jujur dan seorang pendusta, atau dua orang pendusta dan seorang yang jujur." Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pikirannya sedang kacau-balau, biarkanlah dia!" [Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikir Ibni Shayyad 18: 49-50]

Ibnu Umar menceritakan dalam versi lain, "Setelah itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama Ubay bin Ka'ab pergi ke kebun kurma yang di sana terdapat Ibnu Shayyad. Beliau berjalan pelan-pelan karena ingin mendengar sesuatu dari Ibnu Shayyad sebelum Ibnu Shayyad mengetahui beliau, lalu Nabi saw melihatnya sedang berbaring di atas sehelai kain miliknya yang ada tandanya. Lalu ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah saw yang sedang berlindung di balik batang pohon kurma, lantas ia berkata kepada Ibnu Shayyad, "Wahai Shafi -nama ibu Ibnu Shayyad yang sebenarnya- ini adalah Muhammad saw!" Lalu Ibnu Shayyad lari. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Seandainya ibunya membiarkannya, niscaya akan nampak jelas masalahnya."[Shahih Bukhari 3: 218]

Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus saya untuk menemui ibunya. Beliau bersabda, "Tanyakanlah kepadanya berapa lama ia mengandungnya." Lalu saya datang kepadanya dan menanyakannya, kemudian ia menjawab, "Aku mengandungnya selama dua belas bulan." Abu Dzar berkata, "Kemudian beliau menyuruh saya untuk menanyakan bagaimana ia berteriak (menangis) sewaktu dilahirkan. Lalu saya kembali lagi kepadanya dan menanyakannya. Kemudian ia menjawab, "Dia menangis seperti menangisnya bayi yang sudah berusia satu bulan." Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Sesungguhnya saya menyembunyikan sesuatu kepadamu." Dia berkata, "Engkau menyembunyikan bagian depan hidung dan mulut (cingur) kambing serta asap kepadaku." Kata Abu Dzar, "Ia hendak mengucapkan ad-dukhon tetapi tidak dapat, lalu ia mengungkapkan ad-dukh, ad-dukh." [Musnad Ahmnad Ahmad 5: 148. Ibnu Hajar berkata, "Shahih."]

Maka pengujian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadapnya dengan "ad-dukhon" adalah untuk mengetahui hakikat urusannya.

Dan yang dimaksud dengan "ad-dukhon" di sini ialah firman Allah:

"Artinya : Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata" [Ad-Dukhon: 10]

Dan di dalam riwayat Ibnu Umar seperti yang diriwayatkan Imam Ahmad: "Aku menyembunyikan sesuatu terhadapmu." Dan beliau menyembunyikan apa yang terkandung dalam ayat:

"Artinya : ... hari ketika langit membawa kabut yung terang" [Musnad Ahmad 9: 139. hadits nomor 6360 dengan tahqiq Ahmad Syakir. Beliau berkata, "Isnadnya shahih."]

Ibnu Katsir berkata. "Ibnu Shayyad dapat mengungkapkannya lewat jalan para dukun dengan lisan jin, dan mereka memotong ungkapan itu. Karena itu ia berkata. Ad-dukh, yakni ad-dukhon. Ketika itu tahulah Rasulullah saw materinya bahwa itu dari syetan. Lalu beliau bersabda, "Duduklah, engkau tidak akan dapat melampaui kedudukanmu." [Tafsir Ibnu Katsir 7: 234]

KEMATIAN IBNU SHAYYAD
Dari Jabir Radiyallahu anhu ia berkata, "Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas." ['Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Daud 11: 476]

Ibnu Hajar mengesahkan riwayat di atas dan melemahkan pendapat orang yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad meninggal dunia di Madinah dan mereka membuka wajahnya serta menyalati jenazahnya. [Fathul-Bari 13: 328]












Tempat Keluarnya Dajjal

TEMPAT KELUARNYA DAJJAL


Oleh
Jumriani  s.kep



Dajjal akan keluar dari arah timur, dari Khurasan, dari kampung Yahudiyyah kota Ashbahan. Kemudian mengembara ke selurah penjuru bumi. Maka tidak ada satu pun negeri yang tidak dimasukinya kecuali Makkah dan Madinah, karena kedua kota suci ini selalu dijaga oleh malaikat.

Dalam hadits Fatimah binti Qais terdahulu disebutkan bahwa Nabi saw bersabda mengenai Dajjal,

"Artinya : Ketahuilah bahwa dia berada di laut Syam atau laut Yaman. Oh tidak, bahkan ia akan datang dari arah timur. Apa itu dari arah timur? Apa itu dari arah timur... Dan beliau berisyarat dengan tangannya menunjuk ke arah timur." [Shahih Muslim 18 : 83]

Diriwayatkan dari Abubakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami.

"Artinya : Dajjal akan keluar dari bumi ini di bagian timur yang bernama Khurasan. " [Jami' Tirmidzi dengan Syarahnya Tuhfatul Ahwadzi, Bab Maa Saa-a min Aina Yakhruju Ad-Dajjal 6: 495. Al-Albani berkata, "Shahih. " Vide: Shahih Al-Jami' Ash-Sha-ghir 3: 150, hadits nomor 3398]

Dari Anas Radhiyalahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Dajjal akan keluar dari kampung Yahudiyyah kota Ashbahan bersama tujuh puluh ribu orang Ashbahan. " [Al-Fathur Rabbani Tartib Musnad Ahmad 24: 73. Ibnu Hajar berkata, "Shahih. " Periksa: Fathul-Bari 13: 328). Ibnu Hajar berkata, "Adapun mengenai tempat dari mana ia keluar? Maka secara pasti ia akan keluar dari kawasan timur. " (Fathul-Bari 13: 91)]

Ibnu Katsir berkata, "Maka Dajjal akan mulai muncul dari Ashbahan, dari suatu kampung yang bernama Al- Yahudiyyah. " [An-Nihayah fil Fitan wal Ma-lahim 1: 128 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini]

DAJJAL TIDAK MEMASUKI KOTA MAKKAH DAN MADINAH
Dajjal diharamkan memasuki kota Makkah dan Madinah ketika ia muncul pada akhir zaman, berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Adapun tempat-tempat selain Makkah dan Madinah akan dimasukinya satu demi satu.

Dalam hadits Fatimah binti Qais Radhiyallahu 'anha disebutkan bahwa Dajjal mengatakan, "Maka saya akan keluar dan mengembara di bumi, dan tiada satu pun tempat kecuali saya masuki selama empat puluh malam kecuali Makkah dan Thaibah (Madinah), karena kedua kota itu diharamkan bagi saya untuk memasukinya. Apabila saya hendak memasuki salah satu dari kedua kota tersebut. saya dihadapi oleh malaikat yang menghunus pedang untuk menghardik saya, dan pada tiap-tiap lorongnya ada malaikat yang menjaganya.” [Shahih muslim, Kitab Al-Fitan wa Asyrotis Sa'ah, Bab Qishshotil Jasasah 18: 83]

Juga diriwayatkan bahwa Dajjal tidak akan memasuki empat buah masjid, yaitu masjidil Haram, Masjid Madinah. Masjid Thir, dan masjid Al-Aqsho. Imam Ahmad meriwayatkan dari Jinadah bin Abi Umayyah Al-Azdi, ia berkata. ''Saya pernah pergi bersama seorang lelaki Anshar kepada salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu kami berkata. "Tolong ceritakan kepada kami apa yang pernah Anda dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai Dajjal, lantas ia mengemukakan hadits itu seraya berkata, "Sesungguhnya ia akan berdiam di bumi selama empat puluh hari yang dalam waktu itu ia dapat mencapai semua tempat minum (sumber air), dan ia tidak mendekati empat buah masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Madinah, Masjid Thur. dan Masjidil Aqsho." [Al-Fathu Rabbani 24: 76 dengan tartib As-Sa'ati. Al-Haitsami berkata. "Diriwayatkan oleh Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih." Majma'uz Zawaid 7: 343. Ibnu Hajar berkata, "Perawi-perawinya kepercayaan." Fathul Bari 13: 105]

Adapun yang tersebut dalam riwayat Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahihnya (Shahih Bukhari, Kitab Ahaditsul Anbiya', Bab Qaulillah "wadzkur Fil Kitabi Maryam" 6: 477; dan Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Dzikril Masih Ibni Maryam 'alaihissalam wal- Masihid Dajjal 2: 233-235) yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihat seorang berambut kribo dan buta matanya sebelah kanan sedang meletakkan thawaf di Baitullah, lantas ditanya, kemudian orang-orang menjawab bahwa dia adalah Al-Masih Ad-Dajjal, maka riwayat ini tidak bertentangan dengan terhalangnya Dajjal memasuki kota Makkah dan Madinah, karena terhalangnya Dajjal memasuki kota Makkah dan Madinah adalah besok pada pemunculannya pada akhir zaman. Wallahu a'lam. [Periksa: Syarah Nawawi terhadap Shahih Muslim 2: 234 dan Fathul-Bari 6: 488-489]

PENGIKUT-PENGIKUT DAJJAL
Kebanyakan pengikut Dajjal adalah orang-orang Yahudi, orang Ajam, orang Turki, dan banyak lagi manusia dari berbagai bangsa dan golongan yang kebanyakan dari orang-orang Arab dusun dan kaum wanita.

Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya: Dajjal akan diikuti oleh orang-orang Yahudi Ashfahan sebanyak tujuh puluh ribu orang yang mengenakan jubah tiada berjahit. " [Shahih Muslim. Kitabul Fitan wa Asyrotis Sa'ah, Bab Fi Baqiyyah Min Ahaadiitsid Dajjal 18: 85-86)]

Dan dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan:

"Tujuh puluh ribu orang yang mengenakan topi. " [Al-Fathur Rabbani Tartib Musnad Ahmad 24: 73. Hadits in: shahih. Periksa: Fathul-Bari 13: 328]

Dan di dalam riwayat Abubakar disebutkan.

“Dia diikuti oleh kaum yang mukanya gelap.” [Riwayat Tirmidzi]

Ibnu Katsir berkata. "Menurut lahirnya -wallahu a 'lam- yang di maksud dengan Tark itu adalah pembantu-pembantu Dajjal." [An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 117]

Demikian pula yang dimaksud dalam hadits Abi Hurairah.
"Tidaklah datang kiamat sehingga kamu memerangi bangsa Khauz dan Kirman dari orang-orang Ajam yang wajahnya merah, hidungnya pipih (pesek). matanya sipit, wajahnya seperti tembaga, dan sepatunya beludru." [Shahih Bukhari, Kitab Al-Manaqib, Bab 'Alamatin Nubuwwab Fil Islam 6: 604]

Adapun pengikut Dajjal kebanyakan dari orang-orang Arab kampung disebabkan pada waktu itu mereka dilanda kebodohan. Di dalam hadits Abi Umamah yang panjang antara lain disebutkan:

Dan di antara fitnahnya –yakni fitnah Dajjal- ialah ia akan berkata kepada orang-orang Arab kampung, "Bagaimana pendapatmu jika aku membangkitkan ayahmu dan ibumu, apakah kamu mau bersaksi bahwa aku adalah tuhanmu ?" Dia menjawab, "Ya." Kemudian ada dua syetan yang menyerupakan diri dengan ayahnya dan ibunya, lantas keduanya berkata, "Wahai anakku, ikutilah dia, sesungguhnya dia adalah tuhanmu." [Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan 2:1359-1363. Hadits ini shahih. Periksa: Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir 6: 273- 277, hadits no. 7752]

Sedangkan kaum wanita yang banyak mengikutinya disebabkan lebih mudah terpengaruh dari pada orang-orang Arab kampung, di samping kebodohan mereka. Di dalam hadits Ibnu Umar ra, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Dajjal akan turun di lembah air Murqonah' ini, maka orang yang datang kepadanya kebanyakan kaum wanita, sehingga seseorang akan pergi menemui sahabat karibnya, ibunya, anak perempuanya, saudara perempuannya, dan kepada bibinya untuk meneguhkan hatinya karena kuatir mereka akan pergi menemui Dajjal." [Musnad Ahmad 7: 190 dengan tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, "Isnadnya shahih."]

Fitnah Dajjal

FITNAH DAJJAL


Oleh :
JUMRIANI   s.kep



Fitnah Dajjal merupakan fitnah paling besar di antara fitnah-fitnah, yang ada semenjak Allah menciptakan Adam hingga datangnya hari kiamat. Hal ini disebabkan. Allah memberikan hal-hal yang luar biasa padanya yang memukau dan membingukan akal pikiran.

Dalam riwayat-riwayat disebutkan bahwa Dajjal memiliki surga dan neraka. maka surganya itu adalah neraka dan nerakanya adalah surga. Dia juga memiliki sungai-sungai air dan gunung-gunung roti. Dia memerintahkan langit untuk menurunkan hujan lantas langit pun menurunkan hujan, memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan lantas bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan segala hasilnya. Dia dapat melintasi bumi dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan yang luar biasa, bagaikan hujan yang ditiup angin kencang, serta kejadian-kejadian luar biasa lainnya.

Semua itu disebutkan di dalam hadits-hadits shahih, antara lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Artinya: "Dajjal itu buta matanya sebelah kiri, berambut keriting, mempunyai surga dan neraka. Maka nerakanya adalah surga dan surganya adalah neraka" [Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa 'ah, Bab Dzikir Ad-Dajjal 18: 60-61]

Dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dari Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Sunguh aku labih mengetahui apa yang menyertai Dajjal. la akan bersama dua buah sungai yang mengalir, yang satu kelihatan mengalirkan air dan satunya lagi kelihatan mengalirkan api yang menyala-nyala, maka hendaklah ia mendatangi sungai yang kelihatan berisi api itu, dan hendaklah ia pejamkan matanya, karena yang nampak api itu adalah air yang dingin" [Shahih Muslim 18 : 61]

Dalam hadits Nawwas bin Sam'an Radhiyallahu 'anhu bahwa para sahabat bertanya kepada Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai Dajjal, "Wahai Rasulullah, berapa lamakah ia tinggal di bumi?" beliau menjawab. selama empat puluh hari, sehari seperti setahun, yang seharinya lagi seperti sebulan. dan yang sehari lagi seperti sejum'at, dan hari-hari lainnya sepeti hari-harimu." Mereka bertanya, "Bagaimana kecepatanya di bumi?" Beliau menjawab. "Seperti hujan yang ditiup angin kencang. Lalu ia mendatangi suatu kaum dan diajaknya kaum itu. kemudian mereka mempercayainya dan memenuhi -seruannya. Lalu ia memerintahkan langit untuk menurunkan hujan, maka langit pun menurunkan hujan. dan memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan bumi pun merumput dengan leluasa hingga badannya gemuk-gemuk dan berlemak. Kemudian ia mendatangi kaum yang lain lagi, lalu diserunya, tetapi mereka menolak seruannya. Lantas ia berpaling dari mereka, kemudian tanah mereka mendadak menjadi kering dan tiada mereka memiliki harta. Dan ia melewati tanah yang kosong seraya berkata kepadanya. "Keluarkanlah perbendaharaanmu!" Lalu keluarlah perbendaharaannya mengikutinya seperti sekumpulan lebah. Kemudian ia memanggil seorang pemuda yang gemuk, lalu ditebasnya dengan pedang hingga terpotong menjadi dua dan dipisahkannya antara kedua potongan itu sejauh bidikan panah. Kemudian dipanggilnya lagi pemuda itu, lalu ia datang kepadanya dengan wajah berseri-seri sambil tertawa." [Shahih Muslim, Bab Dzikir Ad-Dajjal 18: 65-66]

Dan disebutkan dalam riwayat Bukhari dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu bahwa lelaki yang dibunuh oleh Dajjal ini adalah termasuk orang terbaik yang keluar dari Madinah untuk menghadapi Dajjal, lalu berkata kepadanya, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah Dajjal yang telah dijelaskan beritanya kepada kami oleh Rasulullah saw." Lalu Dajjal menjawab, "Apakah pendapat Anda, jika aku bunuh orang ini, kemudian kuhidupkan kembali. Apakah Anda masih meragukan urusan ini?" (Yakni tentang pengakuan Dajjal sebagai tuhan). Lalu orang-orang menjawab, "Tidak!" Kemudian Dajjal membunuhnya, lalu menghidupkan kembali. Lalu lelaki itu berkata, "Demi Allah, tidak ada orang yang lebih mengerti tentang engkau pada hari ini selain aku." Lantas Dajjal hendak membunuhnya, tetapi dia tidak mampu. [Shahih Bukhari, Ki-tabid Fitan, Bab Laa Yadkhulu Ad-Dajjal Al-Madinah 13: 101]

Dan telah disebutkan di muka riwayat Ibnu Majah dari Abi Umamah Al-Bahili Radhiyallahu 'anhu yang menyebutkan sabda Rasulullah saw mengenai Dajjal bahwa di antara fitnah Dajjal ialah ia berkata kepada orang-orang Arab kampung, "Bagaimana pendapatmu jika aku bangkitkan ayahmu dan ibumu? Apakah engkau mau bersaksi bahwa aku ada-lah tuhanmu?" Orang itu menjawab, "Ya." Kemudian dua syetan menyerupakan diri seperti ibu dan ayahnya, lalu keduanya berkata. "Wahai anakku, ikutilah dia, sesungguhnya dia adalah tuhanmu."

Kita memohon keselamatan kepada Allah, dan kita memohon perlindungan kepada-Nya dari segala fitnah.

JAWABAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI MUNCULNYA DAJJAL
Telah disebutkan di muka beberapa buah hadits yang menunjukkan kemutawatiran berita akan munculnya Dajjal pada akhir zaman, dan dia adalah pribadi yang hakiki yang diberi hal-hal yang luar biasa oleh Allah.

Sementara itu Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa Dajjal itu hanya lambang khurafat, kebohongan, dan keburukan-keburukan belaka. tidak berujud manusia ('Vide: Tafsir Al-Manar 3: 317). Syekh Muhammad Abduh ini diikuti pula oleh Syekh Abu Ubayyah yang berpendapat bahwa Dajjal itu hanyalah sekadar pertanda saja untuk melariskan kebatilan. bukan berwujud manusia dari anak Adam.

Pendapat ini merupakan penakwilan yang menyimpang dari zhahir hadits tanpa disertai qarinah (tanda atau petunjuk ke arah itu). Baiklah Anda perhatikan perkataan Abu Ubayyah dalam ta'liqnya terhadap hadits-hadits Dajjal. Beliau berkata. "Berbeda-bedanya isi hadits mengenai tempat munculnya Dajjal, waktu kemunculannya, apakah dia Ibnu Shayyad ataukah bukan, semua itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Dajjal hanyalah lambang kejelekan dan angkara murka yang dominan yang menyebarkan kemadharatan dengan sangat cepat beserta fitnahnya yang mengganas dan merajalela pada suatu waktu sampai suatu saat dilindas oleh kekuasaan kebenaran dan kalimah Allah:

"Sesungguhnya kebatilah pasti akan lenyap. " [Al-Isra': 81 (An-Nihayah fil fitan wal Malahim 1: 118-119).]


Beliau berkata lagi, "Apakah tidak lebih utama untuk dipahami bahwa Dajjal itu sebagai lambang keburukan, kepalsuan, dan kebohongan...?" [Ibid, halaman 152]

Pendapat ini tertolak karena hadits-haditsnya secara tegas dan jelas menunjukkan bahwasanya Dajjal itu adalah seseorang lelaki yang ada wujudnya dan tidak ada satu pun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hanya sekadar lambang banyaknya khurafat, kebohongan dan kebatilan. Dalam riwayat-riwayat tersebut tidak terdapat kontradiksi karena semuanya dapat dikompromikan. Dan telah saya jelaskan di muka bahwa pertama kali Dajjal akan muncul dari Ashbahan dari arah Khurasan yang semuanya berada di kawasan timur. Dan telah saya jelaskan pula perihal Ibnu Shayyad, apakah dia Dajjal atau bukan, serta telah saya sebutkan juga perkataan para ulama mengenai ini.

Bila telah demikian jelas masalahnya, dan bahwa dalam riwayat-riwayat itu tidak terdapat kontradiksi dan kegoncangan baik mengenai tempat kemunculannya maupun waktu kemunculannya. maka tidak ada satu pun alasan yang mendukung pendapat kedua beliau itu (Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Abu Ubayyah). Apalagi dengan adanya hadits-hadits yang menunjukkan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya bahwa dia sebagai yang sebenarnya.

Lebih-lebih lagi Abu Ubayyah sendiri tidak konsisten dalam perkataannya hingga tampak kontradiktif dalam mengomentari hadits-hadits Dajjal dalam kitab An Nihayah fil fitan wal malahim karya lbnu Katsir. Misalnya komentar beliau terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Di antara kedua matanya terdapat tulisan kafir yang dapat dibaca oleh setiap orang yang membenci perbuatanyan atau setiap orang yang beriman.''seraya beliau bersabda: "Kalian semua tahu bahwa tak seoraug pun dari kalian yang dapat melihat Rabbnya hingga ia meninggal dunia " dalam mengomentari hadits ini Abu Ubayyah berkata. "Ini menunjukkan kebohongan Dajjal yang mengaku sebagai Tuhan. Mudah-mudahan Allah menghancurkan dia dan menimpakan kemarahan dan laknat-Nya kepadanya." [An-Nihayah 1:89]

Dengan perkataannya ini Abu Ubayyah berpendapat bahwa Dajjal itu adalah manusia yang sebenarnya yang mengaku sebagai tuhan, dan beliau mendo’akan agar dia dibenci dan dilaknat oleh Allah. Dan di tempat lain beliau tidak mengakui Dajjal sebagai manusia yang sebenarnya. Melainkan hanya perlambang keburukan dan fitnah. Perkataan atau pendapat beliau ini jelas kontradiktif.

Dan saya berharap mudah-mudahan mereka tidak terkena sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Sesungguhnya sesudahmu nanti akan ada kaum yang mendustakan hukuman rajam, Dajjal, syafa 'at, adzab kubur, dan kaum yang dikeluarkan dari neraka setelah mereka disiksa di dalamnya." [Musnad Ahmad 1: 223 dengan tahqiq Ahmad Syakir. Beliau berkata, "Isnadnya shahih."]

Cara menghitung zakat mall

CARA MENGHITUNG ZAKAT MAL

Oleh
JUMRIANI. S.kep


Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim 'Alaihissallam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'Alaihissallam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. Ya Rabb kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. [Ibrâhîm/14:37]

Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. [at-Taubah/9:34-35]

Ibnu Katsir rahimahullâh berkata: “Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]

Ibnu Hajar al-Asqalâni berkata: “Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]

Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.

NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.

عَنْ عَلِي رضياللّه عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى اللّه عليه وسلم قَالَ: إذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَادِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَاالْحَوْلُ فَفِيْهَاخَمْسَةُدَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌيَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرُونَ دِيْنَارًافَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًاوَحَالَ عَلَيْهَا الْحَؤْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ (رواه أبو داود و صححه ا لألبانيْ

Dari Sahabat ‘Ali Radhiyallâhu 'anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”. [Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]

عَنْ أَبِيْ سَعِيد يَقُوْلُ : قَالَ النَّبِيُِّ صلى اللّه عليه وسلم : لَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ (متفق عليه

Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallâhu 'anhu, ia menuturkan: Rasûlullâh Shallallâhu alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.[Muttafaqun ‘alaih]

Dalam hadits riwayat Abu Bakar Radhiyallâhu 'anhu dinyatakan:

وَفِيْ الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْر (رواه البخاري

Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %). [Riwayat al-Bukhâri]

Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:

1. Nishab adalah batas minimal dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali Radhiyallâhu 'anhu di atas, Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.

2. Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas [3]

3. Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]

4. Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.

5. Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni (24 karat).[5] Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.

Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.

Cara Pertama : Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.

Cara Kedua : Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.

Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata: “Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.[6]

Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-

Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]

NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila membutuhkan dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.

Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.

Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat [8]

Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh berikut.

Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.

Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:

Rp. 50.000.000 x 2,5 % (atau Rp. 50.000.000/40) = = Rp 1.250.000,-

Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya.

Akan tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.

Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :

Rp. 16.000.000 x 2,5 % (16.000.000/40)= Rp. 400.000,-

Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan: “Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]

Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya[10]

Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, sedangkan harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,- maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya mencapai nishab. Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- dengan perhitungan sebagai berikut:

Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000, x 2,5 % (23.000.000/40)= Rp. 575.000,-

ZAKAT PROFESI
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.

Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:

1. Zakat hasil pertanian adalah 1/10 (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan 1/20 (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.

2. Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli dan standar nilai barang.

3. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang menunjukkan hal itu

Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallâhu 'anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam. Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar Radhiyallâhu 'anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”. [Riwayat Muslim]

Seusai Sahabat Abu Bakar Radhiyallâhu' anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallâhu 'anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab: “Ke pasar”. ‘
Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?”
Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?”
Umar pun menjawab: “Kita akan memberimu secukupmu”.[Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi]

Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar Radhiyallâhu 'anhu tentang hal ini.

لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُعَنْ مَؤُوْنَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسلِمِيْنَ فَسَيَأكُلُ آلُ أَبِيْ بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحتَرِفُ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِيه

Sungguh, kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi ebutuhan keluargaku. Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka. [Riwayat Bukhâri]

Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun).

Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata: “Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”[11]

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya: “Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam berikut:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ منْ مَالٍ (رواه مسلم

Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.[HR. Muslim]

Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.